Selasa, 31 Januari 2017

Mengapa Stress Dapat Menimbulkan Penyakit?

Ketika seeorang mengalami stress, tidak hanya terjadi perubahan psikologis,namun juga melibatkan perubahan fisiologis. Efek fisiologis langsung dapat berasal dari sistem saraf simpatetik dan aktifnya hypotalamic-pituitary-adronocortical. Efek fisiologis yang terjadi akibat stress adalah: meningkatnya detak jantung, meningkatnya tekanan darah, menurunnya daya tahan tubu, dan meningkatnya aktivitas hormonal. Kemungkinan timbulnya penyakit akan diperbesar karena adanya pengaruh stress terhadap pola perilaku seseorang (yang berhubungan dengan kesehatan). Individu yang sedang stress biasanya memunculkan peningkatan perilaku merokok dan penggunaan alkohol, rendahnya asupan nutrisi (pola makan tidak sehat), berkurangnya jam tidur atau sebaliknya, juga penggunaan obat-obatan
Salah satu contoh kasus yang dapat menggambarkan tentang hal ini adalah sebagai berikut: Seseorang wirasasta yang terjerat utang dan sudah mencapai batas waktu untuk melunasi hutangnya akan mengalami stress. Stressor pada kasus ini adalah batas waktu pembayaran hutang. Wiraswasta tersebut akan berfikir keras bagaimana cara yang harus ditempuh untuk melunasi hutang-hutang tersebut. Mekanisme stress yang terjadi adalah mendekatnya batas waktu pelunasan hutang (Potential stressor/external event), kejadian ini memungkinkan munculnya kejadian tidak menyenangkan di masa depan (contoh: kebangkrutan, aset yang harus dijual, dan lain-lain) karena itulah terjadi stress yang memunculkan respon fisiologis, kognitif, emosi, dan perilaku. Respon fisiologis yang terjadi adalah meningkatnya tekanan darah, detak jantung, dan menurunnya daya tahan tubuh hal ini dipicu oleh respon emosi (marah, cemas, dll). Respon perilaku yang terjadi meningkatnya perilaku merokok(digunakan oleh indindividu untuk mengurangi stress) rusaknya pola tidur dan pola makann. Hal ini secara langsung akan memperburuk keadaan fisiologis wiraswasta tersebut. Jika dibiarkan dapat mengakibatkan serangan jantung (kolestrol naik karena pola makan dan perilaku merokok) atau penyakit lain yang berhubungan dengan tekanan darah.

Senin, 30 Januari 2017

Contoh Kasus Neuropsikologi : Kesadaran


Ini adalah salah satu contoh kasus yang pernah saya dapatkan dalam tugas neuropsikologi. Semoga bermanfaat. Dan jika ada masukan, let me know :)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgthnT0YrLJcKVDnHTv5suF2_PGeDdP9QyoDHOnYTMMygh05Ng18CnhMX8LTHFnsh9zRM_EfiFRYWtywhdkLryTi5vMTXOuvHvJXdq4sdB-D1u9_xWL4m73za_Vvv7ZzrANaX04tRuBIeA/s320/pingsan.png


Kasus 1 : Seorang ibu meloporkan anaknya jatuh dari sepeda, katanya pingsan, tapi dia masih bisa pulang sendiri naik sepeda.
 

Teori Kesadaran

Anak pada kasus ini pingsan setelah terjatuh dari sepeda, kasus pingsan merupakan kasus ketidaksadaran.  Secara fisiologis, mekanisme kesadaran terdapat pada batang  otak. Kesadaran menurun secara fisiologis pada keadaan mengantuk, tidur dan menurun patologis pada gangguan, kerusakan bagian-bagian otak yang menggurus kesadaran.  
Faktor apa pun yang mengganggu fungsi sistem retikularis aktivans asendens akan menyebabkan kesadaran menurun, mungkin hingga koma da kematian. Pada gegar otak, terjadi guncangan di perbatasan pons dan mesensefalon yang mengganggu fungsi sistem retikularis di sini dan menyebabkan kesadaran menurun. Terjadinya edema di daerah ini, dapat menimbulkan keadaan yang disebut status grogi. Hal ini mungkin terjadi pada trauma kepala, di antaranya ketika bertinju. Sang pasien dapat melakukan kegiatan di rumah sehari-hari di dalam keadaan kesadaran menurun disertai amnesia setelah siuman.
Tingkat-tingkat penurunan kesadaran.
Secara kualitatif, tingkat-tingkat kesadaran ialah sebagai berikut:
1.      Apatis, yaitu tiada perhatian terhadap sekelilingnya dan diri sendiri.
2.      Somnolen, yaitu keadaan mengantuk, cenderung tidur, dapat dibangunkan.
3.      Sopor, yaitu keadaan seperti tidur lelap, tetapi dapat disadarkan. Dengan rangsang nyeri, ada reaksi gerakan atau membuka mata, tetapi kesadaran cepat menurun lagi.
4.      Koma. Pada koma lebih ringan, masih ada reaksi terhadap rangsang nyeri, refleks-refleks tendo masih ada. Pada koma berat tidak ada rekasi lagi.
Secara kuantitatif, tingkat kesadaran diukur dengan skala koma Glasgow atau skala koma lainnya. Skala koma Glasgow adalah metode klinis paling umum yang digunakan untuk mengukur tingkat keparahan cedera otak (GCS; Teasdale & Jennett, 1974). GCS tarif respon verbal, perilaku membuka mata, dan respon motor terbaik dalam skala mulai dari poin 3 sampai 15.
GCS sensitif terhadap cedera kepala sedang dan berat dan berguna untuk memprediksi hasil neurobehavioral. Cedera kepala diklasifikasikan sebagai berikut :
a.                   Cedera ringan : setidaknya 13 poin
b.                   Cedera sedang : 9-12 poin
c.                   Cedera parah : 8 atau sedikit poin
Pada seluruh kasus ketidaksadaran perlu diingat, bahwa semua tes psikologis baru boleh dilakukan setelah kesadaran normal.

Daftar Pustaka:
Markam, SS. 2006. Dasar-Dasar Neuropsikologi Klinis. Sagung Seto: Jakarta
Snyder P.J. & Nussbaum. 1995. Neuripsychological Assesement

Sumber gambar: disini

Minggu, 29 Januari 2017

Welcome Back !

Meskipun sudah enam tahun tidak memposting apa pun. Saya sepertinya akan kembali memposting beberapa bahan kuliah di blog ini. Blog ini saya buat ketika masih menjalani perkuliahan S1. Saat ini saya sedang dalam proses menyelesaikan S2. Sepertinya ada banyak file perkuliahan yang sudah dipenuhi sarang laba-laba di laptop saya. hahaha.

Untuk yang kebetulan mampir, Have A Nice Day!

Fiksionalisme- Teori Alfred Adler dalam Novel Sang Pemimpi









"Biar kau tahu, Kal, orang seperti kita tak punya apa-apa kecuali semangat dan mimpi-mimpi, dan kita akan bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi itu!! Tanpa mimpi orang seperti kita akan mati”

Arai kepada Ikal
Dalam buku Sang Pemimpi

Arai adalah salah satu tokoh dalam buku Sang Pemimpi (tetralogi Laskar Pelangi) yang sangat menarik perhatian saya. Di buku ini, Andrea Hirata menyogohi kita sosok Arai, si Simpai Keramat (anak sebatang kara) yang diasuh oleh keluarga Ikal sejak kelas 4 SD. Arai yang percaya bahwa rayuan gombalnya dapat menaklukkan hati Zakiah Nurmala. Arai yang juga percaya bahwa semangat belajar dan kerja kerasnya dapat membawa ia menuntut ilmu hingga  ke Perancis. Andrea Hirata menggambarkannya sebagai anak yang pantang menyerah. Maka ketika ikal nyaris menyerah dengan cita-cita mereka. Arai meyakinkannya, bahwa mereka akan mampu mewujudkan impian mereka.

Di dalam cerita “Sang Pemimpi” Ikal dikisahkan nyaris menyerah ketika ia mencoba untuk bersikap realistis. Ia melihat fakta yang ia jalani saat itu dan mulai membayangkan bahwa masa depan mereka tidak akan jauh berbeda. Setelah tamat SMA mereka hanya akan menjadi pendulang timah, ataupun kuli. Ikal mulai pesimis, semangat belajarnya tidak lagi sama. Hingga akhirnya nilai-nilai sekolahnya pun anjlok. Sementara Arai, entah kita sebut sebagai orang yang berfikiran positif atau kita sebut pemimpi di siang bolong. Anak SMA dari kampung yang bekerja paruh waktu sebagai kuli ngambat ini sangat percaya dapat menuntut ilmu ke Perancis.

Maka malam itu, ketika membaca tentang teori Psikologi Individual Alfred Adler yang membahas tentang fiksionalisme, ingatan saya langsung tertuju pada sosok Arai. Arai, Sang Pemimpi cocok untuk menjadi contoh dalam teori ini.

Menurut Adler, persepsi subjective seseorang membentuk perilaku dan kepribadian mereka. Manusia berjuang untuk meraih keunggulan ataupun keberhasilan untuk mengganti perasaan inferior. Akan tetapi, sikap mereka ini tidak ditentukan oleh kenyataan melainkan oleh persepsi akan kenyataan.  Sikap mereka di tentukan oleh fiksi mereka, harapan masa depan mereka.
 Gagasan Adler tentang fiksi ini menjadi menarik karena hal ini berbeda dengan gagasan yang diajukan oleh Sigmund Freud. Bagi Freud, pengalaman masa lalu seseorang memotivasi perilaku yang muncul saat ini. Sebaliknya bagi Adler, perilaku manusia dimotivasi oleh persepsi mereka saat ini tentang masa depan. Adler melihat manusia sebagai sosok yang lebih positif yang tidak semata-mata dikendalikan oleh masa lalu.

Seberapa pun tidak menyenangkannya pengalaman masa kecil Arai (menjadi anak sebatang kara sejak kelas SD), perilakunya sepanjang cerita “Sang Pemimpi” dimotivasi oleh persepsinya tentang masa depan, tentang impian-impian gilanya. Pada akhirnya, Arai mendapatkan apa yang ia impikan. Apakah mudah untuknya? Tentu saja tidak. Ia menumpuh jalan yang berliku, untuk sampai di sana. Namun ada yang tidak berubah, ia tidak pernah berhenti percaya bahwa ia mampu meraih impiannya. Karena itu, ia juga tidak pernah berhenti berusaha.

Mungkin kita perlu mengambil waktu sejenak dan memikirkan seperti apa persepsi kita tentang masa depan. Seberapa buruk pun masa lalu kita, seberapa tidak menyenangkannya situasi yang dihadapi saat ini, tidak ada untungnya untuk membayangkannya masa depan yang tidak menyenangkan. Sebaliknya, tidak ada ruginya untuk mempercayai bahwa keadaan dapat berubah, bahwa impian yang terlihat mustahil pun dapat dicapai. Apa yang kita percayai, menentukan tindakan dan perilaku kita saat ini.

Saya sendiri ketika menemui hambatan, sejujurnya pernah memikirkan dan meragukan, apakah saya bisa mendapatkan apa yang saya impikan? Memikirkannya berulang-ulang menumbuhkan perasaan pesimis dalam diri saya. Akibatnya, bahkan sebelum masa depan yang mengerikan itu datang, saya sudah menderita dengan pikiran saya sendiri. Hal-hal yang saya kerjakan menjadi berantakan dan sepertinya saya semakin mendekati kegagalan. Saya tidak ingin seperti itu lagi. Mendahului nasib, membuat hidup saya lebih menderita bahkan sebelum masa depan itu tiba.

Mari membenahi persepsi kita tentang masa depan J

Jakarta, 20 Desember 2014.
Iffah Rufaidah.