"Biar kau tahu, Kal, orang seperti kita tak punya apa-apa kecuali semangat dan mimpi-mimpi, dan kita akan bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi itu!! Tanpa mimpi orang seperti kita akan mati”
Arai kepada Ikal
Dalam buku Sang Pemimpi
Dalam buku Sang Pemimpi
Arai
adalah salah satu tokoh dalam buku Sang Pemimpi (tetralogi Laskar
Pelangi) yang sangat menarik perhatian saya. Di buku ini, Andrea Hirata
menyogohi kita sosok Arai, si Simpai Keramat (anak sebatang kara) yang
diasuh oleh keluarga Ikal sejak kelas 4 SD. Arai yang percaya bahwa
rayuan gombalnya dapat menaklukkan hati Zakiah Nurmala. Arai yang juga
percaya bahwa semangat belajar dan kerja kerasnya dapat membawa ia
menuntut ilmu hingga ke Perancis. Andrea Hirata menggambarkannya
sebagai anak yang pantang menyerah. Maka ketika ikal nyaris menyerah
dengan cita-cita mereka. Arai meyakinkannya, bahwa mereka akan mampu
mewujudkan impian mereka.
Di dalam cerita
“Sang Pemimpi” Ikal dikisahkan nyaris menyerah ketika ia mencoba untuk
bersikap realistis. Ia melihat fakta yang ia jalani saat itu dan mulai
membayangkan bahwa masa depan mereka tidak akan jauh berbeda. Setelah
tamat SMA mereka hanya akan menjadi pendulang timah, ataupun kuli. Ikal
mulai pesimis, semangat belajarnya tidak lagi sama. Hingga akhirnya
nilai-nilai sekolahnya pun anjlok. Sementara Arai, entah kita sebut
sebagai orang yang berfikiran positif atau kita sebut pemimpi di siang
bolong. Anak SMA dari kampung yang bekerja paruh waktu sebagai kuli
ngambat ini sangat percaya dapat menuntut ilmu ke Perancis.
Maka
malam itu, ketika membaca tentang teori Psikologi Individual Alfred
Adler yang membahas tentang fiksionalisme, ingatan saya langsung tertuju
pada sosok Arai. Arai, Sang Pemimpi cocok untuk menjadi contoh dalam
teori ini.
Menurut Adler, persepsi subjective
seseorang membentuk perilaku dan kepribadian mereka. Manusia berjuang
untuk meraih keunggulan ataupun keberhasilan untuk mengganti perasaan
inferior. Akan tetapi, sikap mereka ini tidak ditentukan oleh kenyataan
melainkan oleh persepsi akan kenyataan. Sikap mereka di tentukan oleh
fiksi mereka, harapan masa depan mereka.
Gagasan
Adler tentang fiksi ini menjadi menarik karena hal ini berbeda dengan
gagasan yang diajukan oleh Sigmund Freud. Bagi Freud, pengalaman masa
lalu seseorang memotivasi perilaku yang muncul saat ini. Sebaliknya bagi
Adler, perilaku manusia dimotivasi oleh persepsi mereka saat ini
tentang masa depan. Adler melihat manusia sebagai sosok yang lebih
positif yang tidak semata-mata dikendalikan oleh masa lalu.
Seberapa
pun tidak menyenangkannya pengalaman masa kecil Arai (menjadi anak
sebatang kara sejak kelas SD), perilakunya sepanjang cerita “Sang
Pemimpi” dimotivasi oleh persepsinya tentang masa depan, tentang
impian-impian gilanya. Pada akhirnya, Arai mendapatkan apa yang ia
impikan. Apakah mudah untuknya? Tentu saja tidak. Ia menumpuh jalan yang
berliku, untuk sampai di sana. Namun ada yang tidak berubah, ia tidak
pernah berhenti percaya bahwa ia mampu meraih impiannya. Karena itu, ia
juga tidak pernah berhenti berusaha.
Mungkin
kita perlu mengambil waktu sejenak dan memikirkan seperti apa persepsi
kita tentang masa depan. Seberapa buruk pun masa lalu kita, seberapa
tidak menyenangkannya situasi yang dihadapi saat ini, tidak ada
untungnya untuk membayangkannya masa depan yang tidak menyenangkan.
Sebaliknya, tidak ada ruginya untuk mempercayai bahwa keadaan dapat
berubah, bahwa impian yang terlihat mustahil pun dapat dicapai. Apa yang
kita percayai, menentukan tindakan dan perilaku kita saat ini.
Saya
sendiri ketika menemui hambatan, sejujurnya pernah memikirkan dan
meragukan, apakah saya bisa mendapatkan apa yang saya impikan?
Memikirkannya berulang-ulang menumbuhkan perasaan pesimis dalam diri
saya. Akibatnya, bahkan sebelum masa depan yang mengerikan itu datang,
saya sudah menderita dengan pikiran saya sendiri. Hal-hal yang saya
kerjakan menjadi berantakan dan sepertinya saya semakin mendekati
kegagalan. Saya tidak ingin seperti itu lagi. Mendahului nasib, membuat
hidup saya lebih menderita bahkan sebelum masa depan itu tiba.
Mari membenahi persepsi kita tentang masa depan J
Jakarta, 20 Desember 2014.
Iffah Rufaidah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar